Beranda | Artikel
Kebodohan Kita terhadap Makna Kalimat Tauhid (Bag. 3)
Kamis, 21 Februari 2019

Baca pembahasan sebelumnya Kebodohan Kita terhadap Makna Kalimat Tauhid (Bag. 2)

“Tidak Ada Tuhan selain Allah”: Tidak Ada Sesembahan selain Allah?

Makna kedua dari kalimat “Tidak ada Tuhan selain Allah” adalah “Tidak ada sesembahan selain Allah” atau “Tidak ada sesembahan kecuali Allah.”

Namun sebelumnya, perlu kita cermati bersama bahwa kalimat “Tidak ada sesembahan kecuali Allah”, artinya sama dengan “Semua sesembahan adalah Allah”. Contoh lain adalah ketika kita mengatakan, ”Tidak ada polisi kecuali memiliki pistol”. Maka artinya sama dengan, ”Semua polisi memiliki pistol”. Atau kalimat “Tidak ada siswa kecuali membawa pensil”. Artinya sama dengan, “Semua siswa membawa pensil”. Maka renungkanlah makna ini terlebih dahulu, sebelum berlanjut ke pembahasan selanjutnya.

Memaknai kalimat laa ilaaha illallah dengan “Tidak ada sesembahan selain Allah” juga tidak benar. Meskipun secara bahasa Arab kata “ilah” memiliki makna “al-ma’bud” (sesembahan). Oleh karena itu, sebelum membahas bukti-bukti kesalahan memaknai kalimat “laa ilaaha illallah” dengan “Tidak ada sesembahan selain Allah”, maka terlebih dahulu penulis akan membahas makna “ilah” ditinjau dari sisi bahasa Arab.

Baca Juga: Tauhid Membuahkan Rasa Aman

“Ilah” memiliki makna sesembahan (sesuatu yang diibadahi)

Secara bahasa, kata ilah diturunkan dari kata alaha (أله) yang memiliki makna ‘abada (عبد) [menyembah atau beribadah]. Kata ilah adalah kata yang memiliki makna objek atau maf’ul (مفعول). Sehingga makna ilah yang benar adalah ma’luh (مألوه), yang sinonimnya adalah ma’bud (معبود) yang berarti “sesuatu yang disembah” atau “sesembahan”. (Lihat At-Tamhiid, hal. 74)

Salah seorang ulama ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir rahimahullah, ketika menjelaskan tafsir QS. An-Naml : 60,

أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ

“Apakah di samping Allah ada ilah yang lain?”

Beliau rahimahullah berkata,

أإله مع الله يعبد

“Apakah di samping Allah ada ilah yang disembah?” (Tafsiir Al-Qur’an Al-‘Adziim, 6: 202)

Sedangkan ulama tafsir yang lain, yaitu Al-Baghawi rahimahullah berkata ketika menjelaskan tafsir ayat yang sama,

استفهام على طريق الإنكار، أي: هل معه معبود سواه أعانه على صنعه؟ بل ليس معه إله

“Pertanyaan tersebut merupakan metode untuk mengingkari. Maksudnya, apakah bersama Allah ada sesembahan yang lain yang membantunya dalam ciptaan-Nya? Bahkan (yang benar) adalah tidak ada ilah yang lain bersama-Nya.” (Ma’aalim At-Tanziil, 6: 171)

Bukti lain yang menunjukkan makna ilah tersebut adalah bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memiliki qiro’ah (cara membaca) tersendiri pada ayat,

وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَى وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَآلِهَتَكَ قَالَ سَنُقَتِّلُ أَبْنَاءَهُمْ وَنَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُونَ

“Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun), ’Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu dan ilah-ilahmu?’ Fir’aun menjawab, ’Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan perempuan-perempuan mereka kita biarkan hidup. Dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka.’” (QS. Al-A’raf [7]: 127)

Baca Juga: Inilah Cara Merealisasikan Tauhid

Ibnu ‘Abbas sendiri membacanya (وَيَذَرَكَ وَإِلَاهَتَكَ) dengan meng-kasroh hamzah, mem-fathah lam, dan sesudahnya huruf alif. Alasannya, Fir’aun sendiri disembah oleh kaumnya, namun dia tidak menyembah berhala. Maka qiro’ah yang benar adalah (وَيَذَرَكَ وَإِلَاهَتَكَ) sebagaimana yang dibaca oleh Ibnu ‘Abbas. Artinya, beliau radhiyallahu ‘anhuma memahami al-ilahah (الإِلاهة) dengan makna al-‘ibadah (العبادة) yaitu peribadatan. Sehingga maksud ayat adalah “meninggalkanmu, wahai Fir’aun, dan peribadatan manusia kepadamu.” (Lihat At-Tamhiid, hal. 74-75)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

فالإله الذي يألهه القلب بكمال الحب والتعظيم والاجلال والإكرام والخوف والرجاء ونحو ذلك

“Ilah adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantungnya hati dengan penuh rasa cinta, pengagungan, memuliakan, rasa takut, berharap, dan lain sebagainya.” (Al-‘Ubuudiyyah, 1: 8)

Penjelasan ini juga merupakan salah satu bukti bahwa makna kalimat tauhid bukanlah “Tidak ada Tuhan selain Allah” karena dari sisi bahasa Arab saja sudah keliru. Karena makna ilah secara bahasa adalah al-ma’bud (sesembahan), dan bukan ar-rabbu (tuhan).

Meskipun makna ilah adalah ma’bud (sesembahan), namun memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “tidak ada sesembahan selain Allah” (sekali lagi, yang maknanya adalah “semua sesembahan adalah Allah”) tetap saja tidak tepat. Hal itu dapat ditunjukkan dari dua bukti berikut ini:

Baca Juga: Tugas Para Dai Adalah Mendakwahkan Tauhid

Bukti pertama, makna tersebut tidak sesuai dengan kenyataan atau realita yang sebenarnya.

Bagaimana mungkin kita memaknai kalimat “laa ilaaha illallah” dengan “tidak ada sesembahan selain Allah”, padahal realita menunjukkan bahwa terdapat sesembahan yang lain di samping Allah? Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah menjelaskan bahwa kaum musyrikin pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki sesembahan yang bermacam-macam. Di antara mereka ada yang menyembah malaikat, ada yang menyembah Nabi dan orang-orang shalih, ada yang menyembah matahari dan bulan, serta ada pula yang menyembah batu dan pohon. (Lihat Syarh Al-Qawa’idul Arba’, hal. 25 karya Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Perkataan beliau rahimahullah tersebut dapat ditunjukkan dengan ayat-ayat berikut ini.

Ayat pertama, dalil yang menunjukkan matahari dan bulan sebagai sesembahan orang musyrik adalah firman Allah Ta’ala,

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah menyembah matahari maupun bulan.“ (QS. Fushilat [41]: 37)

Syaikh Shalih Fauzan hafidzahullah menjelaskan,

”(Ayat tersebut) menunjukkan bahwa ada orang yang menyembah matahari dan bulan. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk melaksanakan salat ketika matahari terbit atau tenggelam dalam rangka menutup sarana menuju kesyirikan. Karena ada orang yang menyembah matahari ketika terbit atau tenggelam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk melaksanakan salat pada kedua waktu tersebut, meskipun salatnya tersebut ditujukan kepada Allah Ta’ala. Akan tetapi, ketika salat dalam kedua waktu tersebut menyerupai perbuatan orang-orang musyrik maka hal tersebut dilarang dalam rangka menutup sarana yang dapat mengantarkan kepada kesyirikan. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perbuatan syirik dan menutup sarana yang dapat mengantarkan kepada syirik tersebut.” (Lihat Syarh Al-Qawa’idul Arba’, hal. 28-29)

Ayat kedua, dalil yang menunjukkan bahwa malaikat adalah salah satu sesembahan orang musyrik adalah firman Allah Ta’ala,

وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai Tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?” (QS. Ali Imran [3]: 80)

Ayat ketiga, dalil yang menunjukkan bahwa para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu sesembahan orang musyrik adalah firman Allah Ta’ala,

وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ

“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, “Wahai Isa putera Maryam, apakah kamu mengatakan kepada manusia, ’Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua orang sesembahan selain Allah?’” Isa menjawab, ’Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (untuk mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan, maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib.’” (QS. Al-Maidah [5]: 116)

Ayat-ayat di atas merupakan bukti bahwa di samping Allah Ta’ala, juga terdapat sesembahan-sesembahan yang lain. Bahkan dalam banyak ayat pula Allah Ta’ala menyebut sesembahan orang-orang musyrik sebagai “ilah”. Allah Ta’ala berfirman,

وَاتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ آلِهَةً لَعَلَّهُمْ يُنْصَرُونَ

“Mereka mengambil sesembahan-sesembahan selain Allah, agar mereka mendapat pertolongan.” (QS. Yasin [36]: 74)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَكِنْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ فَمَا أَغْنَتْ عَنْهُمْ آلِهَتُهُمُ الَّتِي يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ لَمَّا جَاءَ أَمْرُ رَبِّكَ وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ

“Dan kami tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka sesembahan-sesembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Rabb-mu datang. Dan sesembahan-sesembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (QS. Huud [11]: 101)

Kesimpulan, memaknai “laa ilaaha illallah” dengan “tidak ada sesembahan selain Allah” adalah tidak tepat karena realita menunjukkan bahwa di dunia ini terdapat sesembahan-sesembahan yang lain selain Allah Ta’ala. Bahkan Allah Ta’ala sendiri mengakui bahwa kenyataannya memang terdapat sesembahan selain Dia.

Baca Juga: Hati Tentram Dengan Tauhid

Bukti kedua, kalimat “tidak ada sesembahan kecuali Allah” menimbulkan konsekuensi yang sangat berbahaya. Karena konsekuensi kalimat itu menunjukkan bahwa semua sesembahan orang musyrik adalah Allah Ta’ala.

Kekeliruan makna “tidak ada sesembahan kecuali Allah” juga dapat dilihat dari konsekuensi yang ditimbulkan oleh makna tersebut. Karena kalimat “tidak ada sesembahan kecuali Allah”, berarti “semua sesembahan yang ada di alam semesta ini adalah Allah”. Maka Isa bin Maryam adalah Allah, karena dia adalah sesembahan orang-orang Nasrani. Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr semuanya adalah Allah, karena mereka adalah sesembahan kaum musyrikin pada zaman Nabi Nuh ‘alaihis salaam. Latta, Uzza, dan Manat adalah Allah karena merupakan sesembahan kaum musyrikin sebagai perantara ibadah mereka kepada Allah. Para wali yang dijadikan sebagai perantara dalam berdoa kepada Allah adalah Allah juga, karena mereka merupakan sesembahan para penyembah kubur.

Maka jelaslah, bahwa makna “tidak ada sesembahan selain Allah” menimbulkan konsekuensi yang sangat batil. Konsekuensi pertama, Allah Ta’ala itu tidak hanya satu, namun berbilang sebanyak jumlah bilangan sesembahan yang ada di muka bumi ini (karena sesmua sesembahan di muka bumi ini adalah Allah). Sedangkan konsekuensi batil yang kedua, bahwa Allah Ta’ala telah menyatu dengan sesembahan-sesembahan tersebut (aqidah wihdatul wujud atau dalam istilah bahasa Jawa “manunggaling kawula-Gusti”).

Baca Juga:

[Bersambung]

***

@Jogjakarta, 1 Jumadil Awwal 1440/ 7 Januari 2019

Penulis: M. Saifudin Hakim


Artikel asli: https://muslim.or.id/45159-kebodohan-kita-terhadap-makna-kalimat-tauhid-bag-3.html